Antologi Puisi : SEBELUM AKU REBAH
Karya : Said Adlin , Herman T Soebrana , dan Medi Idris
Dasopang
Editor : AS . Atmadi
Pengantar : Shafwan Hadi Umry
Penerbit : GARDA – Medan
Tahun Terbit : 1998
TENTANG PENULIS
SAID ADLIN , kini
menjadi staf pengajar di SMP Negeri 3 dan beberapa sekolah swasta lainnya di
Rantauprapat.Lahir di Labuhanbatu 30 Maret 1960,dia menyelesaikan sarjananya di
Fakultas Sastra. Dia dikenal sebagai
penyair muda serta pendiri teater Gita Handayani Rantauprapat yang giat
mempertahankan kehidupan berteater dan
berkesenian di kota kelahirannya. Pemegang sertifikat pelatih teater dari Dewan
Kesenian Sumatera Utara ini selain aktif menulis puisi,cerpen dan naskah drama
juga tetap eksis menyutradarai berbagai pergelaran seni drama baik di
Rantauprapat maupun di Medan.Agaknya guru yang dikenal mudah senyum dan punya
daya humor ini banyak melahirkan karya yang bersifat humoris pula.
Karya pertamanya KARIKATUR PROFESOR yang digelar di Gedung
Nasional Rantauprapat dan Taman Budaya Sumatera Utara – telah mengangkat
namanya sejajar dengan tokoh-tokoh drama di Sumatera Utara. Naskah dramanya
ASMARA HA HA HA , RIBUT RIBUT , dan MENCARI PENUNGGANG berhasil menghidupkan kembali seni teater di Rantauprapat setelah puluhan tahun
mandeg dari dunia kesenian khususnya seni drama kontemporer
HERMAN T SOEBRANA
, lebih memilih sebagai seniman tulen – pekerja seni yang menguasai seni
rupa,seni music,seni dekorasi,seni teater, dan seni sastra. Keahlian yang
dimilikinya ini pernah menjadikannya sebagai freelance penerbit Garda –Medan
untuk menangani perwajahan dan desain sampul buku terbitan. Dilahirkan di
Rantauprapat,28 Oktober 1965 dari keluarga sederhana. Penyair muda yang punya
obsesi menjadi seniman ini,sejak remaja sudah menulis puisi yang sampai kini
masih tersimpan baik. Beberapa puisinya pernah terbit di ruang Abrakadabra
harian Waspada Medan. Puisinya berjudul
SOSOK pernah dilarang untuk dibacakan secara kolosal pada peringatan hari
bersejarah di Rantauprapat.Dalam dunia teater,selain sebagai actor juga pernah
menyutradarai beberapa pergelaran teater di Rantauprapat. Hingga kini dia tetap
setia terhadap teater Gita Handayani.
MEDI IDRIS
DASOPANG , dilahirkan di Rantauprapat , 12 Januari 1968. Karirnya
sebagai penyair dimulai sejak di teater
Gita Handayani Rantauprapat.
Menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum UISU- Medan 1995. Kini aktif di teater Gita Handayani
selaku pengurus senior , di samping aktif sebagai pengurus di organisasi
kepemudaan.Dalam dunia bekesenian,anak dari keluarga guru ini mencatat berbagai
prestasi juara baca puisi untuk tingkat Sumatera Utara, dan pernah
menyutradarai beberapa pergelaran teater serta Dewan Juri sayembara baca puisi.
Di kampusnya,ia juga aktif sebagai pengurus teater Gema Hukum-
UISU, Medan. Sebagai penyair muda puisinya banyak terbit di berbagai surat kabar Medan.
TENTANG EDITOR
AS.ATMADI , lahir
di Medan,12 Januari 1951,di samping aktif sebagai dosen luar biasa pada
fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara dan Sekolah
Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan Medan,dia juga dikenal sebagai sastrawan dan
budayawan. Pengalamannya sebagai Wartawan telah mengantarkannya menjadi seorang
Redaktur Pelaksana Harian Waspada Medan dan dipercayakan untuk mengasuh ruang
budaya.
Kolom Puisi
Abrakadabra yang diasuhnya pada Harian Waspada merupakan ajang “ Unjuk
Kebolehan “ bagi para sastrawan untuk memulai kerja kreativitas.
Selain menulis puisi,cerita bersambung, dan drama ,
AS.Atmadi juga pernah menyutradarai pergelaran teater. Kumpulan puisinya
pertama kali terbit adalah MOOD,pada 1979. Cerita bersambungnya yang
diterbitkan Waspada mencapai lebih dari 50 judul , dan kini telah diterbitkan
sebagai novel dengan judul DEBURAN OMBAK SELAT MALAKA – Penerbit Profesi, Medan,TT.
Naskah dramanya banyak dipergelarkan di Sumatera Utara dan
Aceh.Naskah dramanya yang langsung disutradarainya antara lain ACH ACH,DHUEER,
MPOK ORONG-ORONG , dan TOPO.
PENGANTAR :
PUISI,REFLEKSI
HUMANITAS
Kumpulan puisi SEBELUM AKU REBAH karya Said Adlin,Herman T
soebrana,dan Medi Idris Dasopang merefleksikan peristiwa keseharian manusia
yang mengalami reaksi social dan pergolakan bathin.
Tema puisi yang terangkat dalam penulisan ini lebih banyak
menampilkan aspek social,religius dan keberadaan manusia itu sendiri. Pertemuan
dengan sesama manusia yang tidak jarang
melahirkan tabrakan sikap dan penilaian.Kemudian sikap solidaritas social yang
terasa dampaknya, seperti yang ditulis oleh Herman T Soebrana dalam puisinya
SEBUAH KEMERDEKAAN.
Melalui puisinya yang
berjudul SEBELUM AKU REBAH , ia menulis :
Aku akan bicara lebih
lama pada Mu
sedalam laut mungkin kurengkuh
sejauh
jarak leburlah
Puisi Medi Idis Dasopang mencuatkan kerinduan komuniukasi
kepada sesame manusia. Komunikasi dengan insane yang berada di trotoar jalan,di
kaki lima,di kampus , dan terutama kepada teman hidup.
Puisinya DINDA melontarkan pesan penuh kearifan :
Dinda,
mari
kita kerutkan kening
sampai berdarah
tuk
merangkai budaya
di
negeri yang hilang
…………………………………………….
Dinda,
mari kita tambang
di
laut lepas
sejarah
yang tenggelam
seribu abad silam
buat dongeng anak zaman
Berbeda dengan Said adlin,puisinya mengankat tema sang Ayah
dengan berbagai symbol keberadaannya. “ Ayah”,sosok yang selama ini
dihormati,yang selalu menjadi lambing keteladanan dan semua orang menumpukan
harapan serta impian kepadanya. Akan tetapi,dalam puisi Said Adlin
personifikasi ayah lebih banyak digarap dalam muatan symbol yang bertolak
belakang dari mitos umum. Puisi yang ditulisnya menampilkan krisis kewibawaan
orang tua di tengah zaman yang kurang menghayati etika,budi pekerti dan dunia
kerohanian manusia.
Pembangunan fisik yang gencar dilakukan sekarang seharusnya
diimbangi dengan pembangunan “ Rumah Spiritual” manusia.
Demikian sekilas pengantar kumpulan puisi SEBELUM AKU
REBAH yang diharapkan dapat memperbanyak
karya sastra khususnya puisi yang disumbangkan para pecinta dan peminat sastra
dari daerah ini *
Medan,20 April 1998
Drs.Shafwan Hadi Umry
Kabid Kesenian Kanwil Depdikbud Sumut
PROLOG
Hari ini,pada era informasi orang akan lebih percaya apabila
sesuatu kerja kreatif disaksikan melalui bentuk nyata . Menyadari ini barangkali
maka orang-orang muda Rantauprapat melahirkan sebuah antologi puisi.Merupakan
wujud nyata mereka mengisi khasanah sastra kita.Sesungguhnya kesusastraan
adalah kekuatan yang bisa menggerakkan kehidupan. Membuat seseorang percaya
pada kekuatan kata-katanya karena di
sana mereka menemukan kemerdekaan
dirinya .
Masih ingat penyair muda Chairil Anwar ? Dalam satu
pidatonya dia berkata lantang : “Kita anak dari masa lain “. Artinya ,Chairil
percaya ada kekuatan sendiri yang membuat seseorang percaya bahwa ia berada
dalam satu kekuatan tertentu ketika berhadapan pada kondisinya. Melalui
pernyataan,tidak kembali ke belakang,tetapi
ke depan !
Apakah orang muda Rantauprapat yang puisinya terkumpul dalam
antologi ini percaya mereka memiliki
kemerdekaan dari satu masa lain yang sedang berkembang menuju sebuah
pengesahan baru, yaitu perubahan ? Penyair Chairil Anwar berkata pada zamannya
: “ Pengetahuan dan teknik zaman ini tinggi sudah.Aku berani memasuki rumah
suci hingga ruang tengah”. Adalah sebuah
penjelajahan imajinasi dengan puiisi membuat orang merdeka,lalu masuk ke mana
saja. Ke tempat kesucian paling abadi sekalipun,sebagai postur orang muda
modern.
Sekarang zaman Chairil sudah menjadi lampau. Tidak seorang
dapat memastikan perjalanan kehidupan. Sesuatu yang dapat kita pastikan adalah
ketidakpastian itu sendiri. Pada satu ketika karya-karya pada antologi ini akan
jadi saksi satu peristiwa bathin pada zamannya. Layaknya karya-karya sastra
yang lain, menjadi sebuah kesaksian kehidupan. Jadi tidaklah sampai berdosa
jika kerja kreatif anak-anak muda yang sedang menekuni dunianya ini mendapat
tempat yang pantas, sebagai sebuah dokumentasi dalam kehidupan yang sedang
berjalan. Karena masa depan bagaimanapun
juga adalah tetap misteri,seperti puisi-puisi yang memiliki nilai misteri.
“ A POEM SHOULD NOT MEAN,BUT BE “ , kata Archibal Mack
Leish. Puisi harus menjadi wujudnya tersendiri. Arif Budiman mengatakan : “
Seniman menurut fungsinya selalu mencari bentuk-bentuk ekspresi baru dalam
menciptakan karya. Bahkan setelah dia berhasil menciptakan sesuatu yang
baru,pada suatu saat dia harus mencari kemungkinan lain untuk menciptakan yang
lebih baru “.
Dalam demokratisasi jelah yang dituju bukanlah munculnya
beberapa jenius,melainkan ramainya orang berbahagia,dengan partisipasinya dalam
menciptakan kerja kreatif. Seniman besar selalu tetap diperlukan akan tetapi
bila tidak ada kita pun tak perlu merasa kehilangan. Yang penting kita tidak
menyimpan rasa tertekan. Puisi adalah jawabannya untuk sebuah perwujudan
kemerdekaan sang penyair yang tanpa tekanan.
Akhirnya,selamat buat orang-orang muda Rantauprapat,Sumatera
Utara yang sedang melahirkan kerja kreatif buat masyarakatnya melalui antologi
puisi ini . Karya sastra lebih baik menjadi satu kesenian,bukan sekedar
bisik-bisik antara kita. Konsensus bukan
merupakan sesuatu yang mesti ada*
Medan,20 April 1998
AS.ATMADI
Sastrawan dan Budayawan
Sumut
BAGIAN PERTAMA
Karya : Said Adlin
AYAH – 1
Siapakah
yang mau bersama aku
memandang pada jeram
di kiri kanan jalan
sementara
di seberang sana kita
berbisik-bisik
dari sini
tentang khayalan masa tua kita
yang mengkais-kais
tanah yang tak lezat
lagi
karena ayah kita
telah mengumbar
nafsunya
atas kejalangan tanah
yang menggeliat-geliat
di bawah kakinya *
AYAH – 2
Marilah
kita mengobrol
sebentar
tentang
ayah kita yang tak
pernah letih
menebas-nebaskan
tongkatnya
menggiring sapi-sapi
berjalan
dari semak ke belukar
dari belukar ke rimba
yang ia tersesat di
dalamnya
tak pernah tau jalan
pulang
dan sapi pun
hingga kini tak ada masuk kandang
mari kita ngobrol
tentang jam tangan
yang rusak
yang tak pernah ia
ganti
yang sampai kini
masih melingkar
di tangan kirinya
betapa
jarum yang menunjuk
angka-angka
masih kokoh pada
porosnya
walaupun angka telah
berjatuhan
dari mana
ia tak tau jalan
pulang
padahal sapid an jam
tangannya tak mungkin
menunjukkan
jalan para pencari
rotan
yang setia pulang
pada anak bininya
mari kita ngobrol
sebentar
sekedar
perintang rindu
padanya
tak usah juga kita
ngobrol
sambil menangis
karena
air mata adalah badai
yang menggumpal
maka
jinakkan dan
bungkuslah badai
dengan obrolan
tentang ayah kita
yang mungkin pantas
kita jadikan semacam
dongeng
tentang
laki-laki penggiring
sapi
dalam mimpi para
binatang*
AYAH -3
Di mana
Kita mendirikan rumah
Bila ayah kita
Telah menggali-gali
lobang
Di setiap jengkal
tanah
Tempat ia mengumbar
api
Hingga
Tanah menjadi dingin
Angin menjadi dingin
Singa menjadi dingin
Dan matahari
Pun menjadi gumpalan
salju
Yang rontok setiap
saat
Membunuh anak-anak
Yang tak bersuara
lagi
Ketika ia lahir
Karena rahim
isteri-isteri kita
Pun membeku dari
melahirkan
Karena
Rumah yang kita
janjikan
Tak kunjung bisa kita
bangun
Maka
Jadilah kita
Laki-laki tanpa
pedang
Yang berdiri
Atas tanah beku
Menyesali ayahnya
Sunyi sendiri dan
mati sendiri*
AYAH -4
Ayah
Jika kau terbentur
Pada rumitnya menepis
dosa
Untuk mencari sekedar
keju buat makanku
Atau sekedar mobil
buat jalanku
Atau sekedar ribuan
hektar kebun pusaka
Yang kau cintakan
bagiku
Pulanglah ke rumah
Belajarlah dari
mataku
Ayah
Andai kau kehabisan
kata
Untuk memuji
kebesaran Tuhan
Yang tak pernah
enggan mempersilahkanmu
Masuk ke dalam
pintu-Nya
Kala kau duduk di
hadapan-Nya
Memperbincangkan kami
anak-anakmu
Belajarlah dari
bahasaku
Ayah
Jika pun malam engkau
tak bisa tidur
Jangan kau
bentur-benturkan keningmu
Ke dinding-dinding
gelap
Atau mendatangi
perempuan-perempuan
Yang sembunyi di
balik tirai biru
Pulanglah ke rumah
Belajarlah dari
tidurku
Cuma saja
Jangan lagi kau
mainkan permainanku
Karena aku malu pada
tetangga
Yang mengatakan :
“ Sudah tua kok
seperti anak kecil saja “
AYAH-5
Ayah
Siapakah sebenarnya nabi
ikutanmu
Yang mengalir dalam
darahmu
Yang mengurung
kebebasanmu
Yang menjadi
sebutanmu
Yang membijaki
ijtihadmu
Agar
Jika kau sempat
tafakur sejenak
Ada kekasih yang
hadir menabur cinta
Dalam darah dan
Tulangmu
Usus dan kulitmu
Bibir dan tanganmu
Telinga dan dadamu
Maafkan aku anakmu
Yang lancing
bertanya.
AYAH-6
Ayah
Tak usah kau
pedulikan ibu
Karena ia tak pandai
lagi
Menterjemahkan bahasa
nafsu
Pengail yang dungu
tak pernah tau bahasa ikan
yang mempermainkan
umpan
Tinggalkan saja
Biarkan aku yang menjaga
Dan
Bila malam akan
sempurna
Bulan akan mencebur
diri di garis laut
Lalu
Kau berhasrat
mendatanginya
Berhadapanlah
denganku
Kita beri tanda pada
sejarah zaman !
AYAH-7
Ayah
Kuberanikan lisanku
untuk mengatakan
Akan apa yang selama
ini
kutakutkan padamu :
Bagaimana kau bisa
bebas bicara
Pahal kau terbelenggu
Bagaimana bisa kau
tafsirkan hakikat
Pahal kau tinggalkan
ma’rifat
Bagaimana bisa kau
fikirkan hidupku
Padahal kau
rencanakan matiku
Bagaimana bisa dua
peran kau mainkan
Dalam satu adegan
Di panggung-panggung
reality formality
Padahal ku tau bahwa
kau
Tak lebih dari
seorang barbar
Penganut barbarism
sejati
Ayah
Tak usahpun kau
maafkan lisanku
Asal kau tegur sopir
dan ajudanmu
Yang tak pernah mau
menegur kelaki-lakianmu
Tak bagaimana
Karena kau yang
ucapkan padaku :
Laki-laki yang hidup
dengan pedang
Akan mati karena
pedang !
AYAH-8
Ayah
Kusetrika jas dan
dasimu
Agar kau bisa tampil
Selalu meyakinkan
bahwa
Program dan
presentase yang kau susun
Begitu ampuh dan
aduhai
Sehingga sejawat yang
berderet di depan mejamu
Tak sanggup kedipkan
mata
Untuk mleng dari kata
ke kata
Yang begitu lancar
kau ucapkan
Sementara benak
mereka menggelora
Untuk segera turun ke
lapangan
Ayah
Mana mungkin pernah
kutau
Bahwa jas dan dasimu
Ternyata tak pernah
kau kenakan di depan sejawatmu
Karena pada saat
bersamaan
Jas dan dasimu telah
dibuka
Oleh si Nova
Di sisi kamar sebuah
hotel berbintang
Begitulah
Ayah telah membuat
aku menjadi ternak asing
Yang selalu curiga
pada setiap jas dan dasi
Yang tersangkut rapi
Di tubuh seorang
lelaki !
AYAH-9
Kalau
Kau melihat ada
lelaki
Yang tertawa-tawa
Di tengah gurun
menunggang keledai
Sambil
Menunggingkan gerabah
di atas mulutnya
Hingga seperti mandi
Padahal ia sedang
minum
Yang kelihatan
seperti musyafir
Dari zaman para nabi
Jangan usik dia
Karena ribuan
temannya akan melindungi
Dari balik
pohon-pohon kurma
Padahal ia seorang
saja
Tapi kalau kemudian
Kau melihat dia
terkapar menggelepar
Tertikam pedangnya
sendiri
Maka sebelum maut
menyeretnya
Ajarkan dia kalimah
Allah
Karena
Dia adalah ayah kita
!
AYAH -10
Lihatlah
Kita tiba-tiba saja
menjadi dewasa
Menerima saja ayah
kita yang pulang
Dan bercerita
Bagaimana ia merawat
kejantanannya
Lalu kita
ketawa-ketawa
Lihatlah
Betapa ibu begitu
saja membiarkan ayah
Menelantarkannya dengan
kemewahan
Dan hidup dari
kepura-puraan
Lihatlah
Sebuah orchestra
sumbang
Akan terus kita
nikmati
Karena nafsu menjadi
irama
Sampai ayah kita
berbalik pulang
Ke pangkal jalan.
AYAH-11
Ayah
Ad berapa
Ibuku dalam catatanmu
Kuingatkan bawa
bukumu setiap keluar rumah
Baik siang maupun
malam
Dan catatkan
nama-nama ibuku di situ
Jangan seperti si
Fulan bin Si Fulan
Yang bertengkar
dengan malaikat penjaga kubur
Karena lupa nama
isterinya :
Malaikat :
“Berapa jumlah
isterimu
Curahan hasratmu
Penghias mimpimu
Selama hidupmu ?”
Fulan bin Fulan :
“Cuma satu “
Malaikat :
“Dusta !”
Fulan bin Fulan :
“Tidak”
Malaikat :
“Dusta !”
Fulan bin Fulan :
“Tidak”
Malaikat :
“Dusta ! Ini
catatanku tentang jumlah isterimu !”
Fulan bin Fulan :
“Ada berapa ?”
Malaikat :
“Delapan puluh
tiga,Cuma satu yang mendoakanmu,yang lainnya memberatkanmu !”
AYAH-12
Ayah
Kubangun rumahku
Dari timbunan batu
Lantaiku langitmu
atapku bumimu
Ini rumahku sendiri
Tak seorang kuijin
masuk ke ruangnya
Istana bertahta dari
kerajaanku menjelma
Tangganya pahatan
tangan tak bersuara
Biar ku jatuh
keberdirikan tegakku
Ini rumahku sendiri
Tempat tidurku
nyenyak di sini
Di alam rimbaku yang
berpagar dinding batasku sendiri
Di akar-akar sepi
Di semak-semak
berduri
Biarkan aku di sini
Jangan jemput aku pulang
Karena dinding
batasku adalah goresan Firman !
AYAH-13
Mengapa
Ayah main plesetan
kata
Tirukan bunyi ranting
yang patah
Masuk ke dalam gua
keluar berganti rupa
Hingga aku keliru
memanggilmu ayah
Mengapa
Makna bisa pudar
Padahal lidamu tak
pernah keseleo
Mengucapkan kata
Dari kamus-kamus dan
ensiklopedia
Khotbah para pendeta
dan ulama
Mengapa
Sulit bagimu
mengaplikasikan bicara
Caramukah ini
menenggelamkan aku
Dalam dunia tak
berupa ?
AYAH-14
Ayah
Mengapa Lie Chen
Tak mau kawin dengan
aku
Lelaki buruk rupa
Yang lahir membawa
cinta
Ayah
Tak dapatkah kau
paksa ayahnya
Agar Lie Chennya
dikawinkan aku saja
Biar kawin paksa
Tapi
Lie Chen pasti
bahagia
Karena
Lie Chen belum tau
rasa
Bagaimana cinta
segenap jiwa
Ayah
Cabut saja ijin usaha
ayahnya
Atau persempit ruang
geraknya kalau Lie Chennya juga menolak
Ayah
Sekali-sekali
berpihaklah padaku anakmu
Remaja yang tumbuh
kaku di taman ibu
AYAH-15
Ayah
Aku adalah benag
Yang lepas dari
jenteramu
Yang retak
Tak henti menggulung
Ayah
Tak berapa tempo aku
menjadi kain
Kutinggalkan engkau
Tak pernah punya
benang lagi
Tak berapa tempo aku
menjadi sebuah jas para pemegang kuasa
Menjadi jubah para
ulama
Menjadi mukenah para
muslimah
Dan Perca-ku menambal
baju kaum dhu’afa
Kecuali dalam buku
harian
Namamu tak pernah
kucatat dalam sejarah !
AYAH-16
Ayah
Begitu kau rupanya,ya
Kau bilang Untuk
stabilitas ini untuk stabilitas itu
Sebaiknya begini
begini
Bukan begitu begitu
Demi tingkatkan itu
Demi tingkatkan ini
Jangan begitu begitu
musti begini begini
Padahal
Setelah aku begini
Engkau begitu
Begitu rupanya kau,ya
!
AYAH-17
Ayah
Berhentilah memanah
Karena darah telah
banyak tertumpah
Cukuplah sudah para
pengorban engkau buat susah
Semestinya
Dalam Komunitas ini
Interaksi engkau jaga
agar seimbang
Untuk mencapai tujuan
bersama pengorbanan pun harus bersama pula
Ayah
Jangan biarkan mereka
terus berkorban
Sementara
Engkau memegang busur
Memanah lagi ,
memanah lagi
Ternayata
Memerdekakan nurani
Lebih dahsyat
perjuangannya
Lebih besar
pengorbanannya.
AYAH-18
Ayah
Bagaimana bisa aku
nanti
Menjadi pembelamu
Di hadapan majelis
pengadilan Tuhan
Memohon ampunan hanya
karena pertalian darahmu semata denganku
Bagaimana bisa
kukatakan kau amat baik di mataku
Sementara pernah
kutau sepanjang hidupmu
Penuh maksiat
Baik maksiat ringan
Maupun maksiat berat
atau setengah berat
Kepada tetangga kau
sombong setengah mati
Kepada para miskin
kau tak peduli
Kepada bawahanmu kau hanya menuntut kewajiban
Sementara haknya tak
pernah kau pertimbangkan
Bicaramu penuh dusta
Tidaklah ! Jika tak
segera kau ubah jalanmu
Musyafir kelana
Yang miskin di tengah
kekayaan
Yang haus di tengah
kenikmatan
Yang sepi di tengah
keramaian
Yang rendah
di atas ketinggian.
AYAH-19
Ayah
Mengapa tak kau
katakana Ya saja
Lalu
Kau ikut langkah ayah
kita
Mengiyakan tidak
menidakkan ya
Mengapa tak kau
katakana tidak saja
Lalu
Kau ikut cara ayah
kita menidakkan ya mengiyakan tidak
Mengapa mata tak bisa
kau bohongi
Sedangkan hati biasa
diajak kompromi
Mengapa berat
melangkahkan kaki
Sedangkan tangan biasa
melakoni
Sudahlah
Marilah masuk walau
hatimu di luar
Carilah maknamu dalam
dua pertentangan
Yang keduanya harus
kau menangkan
Karena harapan
bukanlah impian
Dan jangan bersimpang
tak punya pilihan
Sudahlah !
Katakanlah Ya saja
Dan Kau ikut cara
ayah kita !
AYAH-20
Ayah
Kusempurnakan
Gugatanku padamu
Jangan kau panggil
aku anakmu
Jika masih kau
pelihara kejalanganmu
Jika masih kau
dustakan bicaramu
Jika masih kau
paksakan kehendakmu
Jika masih kau rusak
hutanku
Jika masih kau kotori
airku
Jika masih kau
hancurkan masa depanku
Sekali lagi :
Jangan kau panggil
aku anakmu
Jika masih kau
lecehkan ibuku
Dan
Kau sepelekan Tuhanmu
!
Bersambung ke Bagian ke 2