meta content='100'http-equiv='refresh'/> ZIKIR & FIKIR

Senin, 23 Februari 2015

Mama dan Papa di mana...?

MAMA DAN PAPA DI MANA .…? 

  Mereka tak pernah meminta untuk dilahirkan oleh mama dan papa,mereka terlahir atas nafsu birahi mama dan papa entah itu terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah atau tidak,di atas tempat tidur atau di semak-semak,entah siang entah malam , dengan suka sama suka atau dengan paksa,entah mama entah papa yang memulai , entah dalam keadaan tenang atau tergesa-gesa , entah dengan Bismillah atau tidak , entah dengan perasaan cinta entah setengah cinta , entah satu kali atau berkali-kali mama dan papa lakukan mereka tak pernah tau dan tak akan pernah mereka mau tau.
 Yang mereka tau saat ini setelah mereka seumur ini ( lihat foto ) mama dan papa sangat menikmati saat peristiwa itu mama dan papa lakukan , dan setelah peristiwa itu selesai mama tersenyum , papa juga. Ada perasaan bahagia , puas , nyaman , dan gembira , dan satu hal yang amat penting mama dan papa ketahui ; mereka juga sudah tau sekarang bahwa mama dan papa pasti menyadari dibalik perasaan bahagia , puas , nyaman , dan gembira atas selesainya apa yang mama papa lakukan itu konsekwensinya adalah mereka terlahir. 

Saat mereka terlahir mereka juga tidak tau apakah mama dan papa menyambut kelahiran mereka dengan gembira atau sebaliknya , apakah didengungkan azan ke telinga mereka atau tidak , apakah mama dan papa merawat mereka atau mencampakkan mereka di pinggir jalanan lalu dipungut dan diasuh orang lain mereka tak tau dan tak akan mau tau. 

Yang mereka tau adalah saat ini setiap hari mereka butuh zat volatile hidrokarbon yaitu toluene aceton , alifatik acetat , benzene , petroleum naftat , perklorethylen , trikloretane , karbontetraklorida , diethyleter , kloroform , nitrous oxyda , dan macam-macam aerosol serta insektiside yang terkandung dalam aroma yang mereka hirup dari lem tersebut. Tau kah Mama dan Papa tanpa zat-zat yang mengerikan itu mereka akan merasakan sakit yang luar biasa pada kepala dan persendian , pandangan mata tidak focus , dan halusinasi membuat mereka seperti orang gila. Itulah yang menyebabkan mereka harus menghirup gas yang ke luar dari lem itu setidaknya dua kali dalam sehari , bahkan sampai satu jam sekali untuk kondisi yang sudah sedemikian akut . 

Di mana Mama dan Papa saat ini ? Mengapa Mama dan Papa tak mendampingi putera mama buah cinta semasa muda dahulu ? Mengapa mereka sampai hidup terbiar tanpa kasih dan sayang dari Mama dan Papa ? Bukankah mereka terlahir dari perpaduan kasih dan sayang antara Mama dan Papa ? Bukankah mereka itulah yang dulu tumbuh di dalam rahim Mama ? Bukankah mereka itulah yang dulu menyusu kepada Mama ? Mereka itulah sikertas putih Mama dan Papa yang telah Mama dan Papa beri warna kelam , warna gelap , yang memantulkan kegelisahan , ketidakpastian , kecemburuan , dendam , dan sakit hati. Apa yang dapat Mama dan Papa banggakan dalam hidup ini dari anak Mama dan Papa yang tumbuh dan besar dalam kegelisahan serta ketidakpastian , menjadi dewasa ditempa jiwa yang dibakar oleh dendam dan sakit hati tanpa cinta sama sekali ! Itu pun jika mereka dapat bertahan hidup sampai dewasa , karena struktur jaringan sel, dan syaraf orang seusia mereka biasanya tak akan sanggup menerima asupan zat adiktif sekeras volatile hidrokarbon , yang merusak sel syaraf dan melumpuhkannya dengan resiko terdekat adalah , gila , atau mati ! 

Mama dan Papa jangan seperti binatang ! Hanya pandai “ membuat anak ” tapi tak punya tanggung jawab untuk merawat membesarkannya dengan kasih sayang , mendidik dan mengajarkannya tentang kehidupan dan bersosial , serta beragama. Mempersiapkan masa depannya yang baik agar mereka tumbuh menjadi manusia yang bermartabat .

Rantauprapat,19 Februari 2015

Kamis, 25 Desember 2014

JANGAN MELUKAI



JANGAN MELUKAI


Senja mulai menggulirkan angin semilir saat aku tiba di rumah sahabatku setelah hampir tiga jam aku dan motorku bergelut dengan jalanan kampung menuju ke sana.

Ada perasaan bahagia memang,setelah aku menikmati rimbun dedaunan di kanan kiri jalan yang sekali-sekali melibas wajahku sementara terkadang wangi bunga-bunga semak menghantarkan imajinasiku ke negeri syurga. Subhanallah…beginikah gambaran harumnya syurga itu ? 

Kini di halaman rumah di tepian sawah ini syurga itu hadir kembali melalui semilir angin , sejuknya udara , dan kombinasi warna hijau daun padi yang menghampar dengan kuning , biru , dan jingganya langit pada bahagian atasnya.
Ada jalan setapak bertangga menurun landai kearah tepi sawah di samping rumah sebelah kanan,sementara sahabatku Ikhwan Assidqi belum membuka pintu rumahnya. Pemandian , pas ! Aku berwudhu’ dulu ! Akupun turun dari motorku berjalan mengikuti hatiku yang gembira akan bertemu dengan sahabatku  ‘alim dan bersahaja di rumah terpencil itu. 

Belum sepuluh langkah aku menuruni jalan bertangga itu aku dikejutkan oleh teriakan keras memanggil namaku dari arah ujung jalan kecil itu. Saat aku menoleh ke arah suara itu aku melihat sahabatku Ikhwan Assidqi  sedang mandi di bawah pancuran air dari bambu di bawah rimbunan pohon bambu persis seperti itik yang mengkibas-kibaskan sayapnya ketika mandi di genangan kecil sehingga percikan air ke mana-mana.
“ Woi ! Orang desa mandi !” , teriakku dari atas , dan dia tertawa sekuat-kuatnya memecahkan kesunyian di tepi sawah itu.Tak sempat berfikir aku berlari sambil membuka kancing bajuku , melepas celana panjangku dan dengan bercelana pendek aku mendorong dan menggantikan Ikwan Assidqi  di bawah pancur bambu di bawah rimbunan pohon bambu itu. Kami mandi berdua tanpa sempat bersalaman atau saling bertanya kabar. Sesekali kami saling mendorong memperebutkan posisi di bawah pancur dan sesekali pula tawa kami berderai-derai sampai jauh.
“Isteri dan anak-anakmu ke mana ?”,tanyaku setelah kami selesai sholat Maghrib berjamaah , dan setelah makan malam di bawah pancaran sinar petromaks, aku maklum dan menikmatinya karena rumah sahabatku ini memang terpisah lebih tiga kilometer dari perumahan penduduk desa itu. 
“ Pulang ke Padang Sidempuan , mertuaku sakit “, jawabnya .
 “ Masya Allah...”, jawabku perlahan.
 “ Tak mengapa , hanya sakit biasa,mungkin rindu sama cucunya, lagi pula Allah sudah mengatur kedatanganmu ini moment-nya tepat , sehingga kau bebas memilih apakah malam ini kita menyuluh ikan di sawah , atau ngobrol saja sambil makan goreng ubi , atau… kau mau mendengarkan kedalaman makna Munajat Sayyidina Ali ?” 

 Wow…! Semua asyik dari tiga opsi yang diajukannya.
 “Bagaimana ?”, katanya mengejutkan aku yang kelamaan menimbang-nimbang.
"Kali ini tak usah yang berat-berat kita bicarakan... santai sajalah kawan... Kita ngobrol !", kataku.
"Kalau mau ngobrol aja, kita menggoreng ubi dulu berarti...?"
"Berarti ! " Jawabku seperti kebiasaan kami menjawab pertanyaan semacam itu ketika muda di kampung,dulu.
Dia terkekeh-kekeh,mungkin kenangan masa muda di kampung dulu itu , ter- up load juga di memorinya.

Singkat cerita , ubi kayu sudah terhidang lengkap dengan teh manis , dan sepiring kecil sambal terasi sisa makan , tadi. Perngobrolan pun sudah dimulai bahkan sejak aku mengupas kulit ubi dan sahabatku ini menjerang minyak goreng di kuali. Di luar rumah , di sela setiap helai daun - daun padi , embun menempelkan butir-butirnya dibantu oleh semilir angin yang lembut , artinya : malam semakin larut.

Dari obrolan dua sahabat tersebut , satu kalimat hikmah yang diucapkan oleh Ikhwan Assidqi sahabatku itu , dan yang ingin ku share melalui tulisanku ini yaitu , kata beliau : Jika kau panjang , jangan membelit . Jika kau berat , jangan menghimpit , Jika kau tajam , jangan melukai.

Rantauprapat , 26 Desember 2014

Jumat, 31 Oktober 2014

Antologi Puisi Karya Said Adlin



Antologi Puisi : SEBELUM AKU REBAH
Karya : Said Adlin , Herman T Soebrana , dan Medi Idris Dasopang
Editor : AS . Atmadi
Pengantar : Shafwan Hadi Umry
Penerbit : GARDA – Medan
Tahun Terbit : 1998

TENTANG PENULIS
SAID ADLIN , kini menjadi staf pengajar di SMP Negeri 3 dan beberapa sekolah swasta lainnya di Rantauprapat.Lahir di Labuhanbatu 30 Maret 1960,dia menyelesaikan sarjananya di Fakultas  Sastra. Dia dikenal sebagai penyair muda serta pendiri teater Gita Handayani Rantauprapat yang giat mempertahankan kehidupan berteater  dan berkesenian di kota kelahirannya. Pemegang sertifikat pelatih teater dari Dewan Kesenian Sumatera Utara ini selain aktif menulis puisi,cerpen dan naskah drama juga tetap eksis menyutradarai berbagai pergelaran seni drama baik di Rantauprapat maupun di Medan.Agaknya guru yang dikenal mudah senyum dan punya daya humor ini banyak melahirkan karya yang bersifat humoris pula.
Karya pertamanya KARIKATUR PROFESOR yang digelar di Gedung Nasional Rantauprapat dan Taman Budaya Sumatera Utara – telah mengangkat namanya sejajar dengan tokoh-tokoh drama di Sumatera Utara. Naskah dramanya ASMARA HA HA HA , RIBUT RIBUT , dan MENCARI PENUNGGANG berhasil  menghidupkan kembali seni  teater di Rantauprapat setelah puluhan tahun mandeg dari dunia kesenian khususnya seni drama kontemporer
HERMAN T SOEBRANA , lebih memilih sebagai seniman tulen – pekerja seni yang menguasai seni rupa,seni music,seni dekorasi,seni teater, dan seni sastra. Keahlian yang dimilikinya ini pernah menjadikannya sebagai freelance penerbit Garda –Medan untuk menangani perwajahan dan desain sampul buku terbitan. Dilahirkan di Rantauprapat,28 Oktober 1965 dari keluarga sederhana. Penyair muda yang punya obsesi menjadi seniman ini,sejak remaja sudah menulis puisi yang sampai kini masih tersimpan baik. Beberapa puisinya pernah terbit di ruang Abrakadabra harian Waspada Medan. Puisinya berjudul  SOSOK pernah dilarang untuk dibacakan secara kolosal pada peringatan hari bersejarah di Rantauprapat.Dalam dunia teater,selain sebagai actor juga pernah menyutradarai beberapa pergelaran teater di Rantauprapat. Hingga kini dia tetap setia terhadap teater Gita Handayani.
MEDI  IDRIS  DASOPANG , dilahirkan di Rantauprapat , 12 Januari 1968. Karirnya sebagai penyair dimulai sejak di teater  Gita Handayani  Rantauprapat. Menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum UISU- Medan  1995. Kini aktif di teater Gita Handayani selaku pengurus senior , di samping aktif sebagai pengurus di organisasi kepemudaan.Dalam dunia bekesenian,anak dari keluarga guru ini mencatat berbagai prestasi juara baca puisi untuk tingkat Sumatera Utara, dan pernah menyutradarai beberapa pergelaran teater serta Dewan Juri  sayembara baca puisi. 
Di kampusnya,ia juga aktif sebagai pengurus teater Gema Hukum- UISU, Medan. Sebagai penyair muda puisinya banyak terbit di berbagai  surat kabar Medan.

TENTANG EDITOR
AS.ATMADI , lahir di Medan,12 Januari 1951,di samping aktif sebagai dosen luar biasa pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan Medan,dia juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan. Pengalamannya sebagai Wartawan telah mengantarkannya menjadi seorang Redaktur Pelaksana Harian Waspada Medan dan dipercayakan untuk mengasuh ruang budaya.
Kolom Puisi  Abrakadabra yang diasuhnya pada Harian Waspada merupakan ajang “ Unjuk Kebolehan “ bagi para sastrawan untuk memulai kerja kreativitas.
Selain menulis puisi,cerita bersambung, dan drama , AS.Atmadi juga pernah menyutradarai pergelaran teater. Kumpulan puisinya pertama kali terbit adalah MOOD,pada 1979. Cerita bersambungnya yang diterbitkan Waspada mencapai lebih dari 50 judul , dan kini telah diterbitkan sebagai novel dengan judul DEBURAN OMBAK SELAT MALAKA – Penerbit Profesi, Medan,TT.
Naskah dramanya banyak dipergelarkan di Sumatera Utara dan Aceh.Naskah dramanya yang langsung disutradarainya antara lain ACH ACH,DHUEER, MPOK ORONG-ORONG , dan TOPO.

PENGANTAR :
PUISI,REFLEKSI HUMANITAS
Kumpulan puisi SEBELUM AKU REBAH karya Said Adlin,Herman T soebrana,dan Medi Idris Dasopang merefleksikan peristiwa keseharian manusia yang mengalami reaksi social dan pergolakan bathin.
Tema puisi yang terangkat dalam penulisan ini lebih banyak menampilkan aspek social,religius dan keberadaan manusia itu sendiri. Pertemuan dengan sesama  manusia yang tidak jarang melahirkan tabrakan sikap dan penilaian.Kemudian sikap solidaritas social yang terasa dampaknya, seperti yang ditulis oleh Herman T Soebrana dalam puisinya SEBUAH KEMERDEKAAN.
 Melalui puisinya yang berjudul SEBELUM AKU REBAH , ia menulis :
Aku akan bicara lebih lama pada Mu                                                                                         
 sedalam laut mungkin kurengkuh                                                                                           
 sejauh jarak leburlah
Puisi Medi Idis Dasopang mencuatkan kerinduan komuniukasi kepada sesame manusia. Komunikasi dengan insane yang berada di trotoar jalan,di kaki lima,di kampus , dan terutama kepada teman hidup.
Puisinya DINDA melontarkan pesan penuh kearifan :
Dinda,                                                                                                                                                 mari kita kerutkan kening                                                                                                                                               sampai berdarah                                                                                                                         
 tuk merangkai budaya                                                                                                                    
 di negeri yang hilang                                                                                                             …………………………………………….
Dinda,                                                                                                                                                                                mari kita tambang                                                                                                                
 di laut lepas                                                                                                                                    sejarah yang tenggelam                                                                                                                                                                   seribu abad silam                                                                                                                                                              buat dongeng anak zaman
Berbeda dengan Said adlin,puisinya mengankat tema sang Ayah dengan berbagai symbol keberadaannya. “ Ayah”,sosok yang selama ini dihormati,yang selalu menjadi lambing keteladanan dan semua orang menumpukan harapan serta impian kepadanya. Akan tetapi,dalam puisi Said Adlin personifikasi ayah lebih banyak digarap dalam muatan symbol yang bertolak belakang dari mitos umum. Puisi yang ditulisnya menampilkan krisis kewibawaan orang tua di tengah zaman yang kurang menghayati etika,budi pekerti dan dunia kerohanian manusia.
Pembangunan fisik yang gencar dilakukan sekarang seharusnya diimbangi dengan pembangunan “ Rumah Spiritual” manusia.
Demikian sekilas pengantar kumpulan puisi SEBELUM AKU REBAH  yang diharapkan dapat memperbanyak karya sastra khususnya puisi yang disumbangkan para pecinta dan peminat sastra dari daerah ini *
Medan,20 April 1998                                                                                                                                            Drs.Shafwan Hadi Umry                                                                                                              
 Kabid Kesenian Kanwil Depdikbud Sumut

PROLOG
Hari ini,pada era informasi orang akan lebih percaya apabila sesuatu kerja kreatif disaksikan melalui bentuk nyata . Menyadari ini barangkali maka orang-orang muda Rantauprapat melahirkan sebuah antologi puisi.Merupakan wujud nyata mereka mengisi khasanah sastra kita.Sesungguhnya kesusastraan adalah kekuatan yang bisa menggerakkan kehidupan. Membuat seseorang percaya pada kekuatan kata-katanya karena  di sana mereka  menemukan kemerdekaan dirinya .
Masih ingat penyair muda Chairil Anwar ? Dalam satu pidatonya dia berkata lantang : “Kita anak dari masa lain “. Artinya ,Chairil percaya ada kekuatan sendiri yang membuat seseorang percaya bahwa ia berada dalam satu kekuatan tertentu ketika berhadapan pada kondisinya. Melalui pernyataan,tidak kembali ke belakang,tetapi  ke depan !
Apakah orang muda Rantauprapat yang puisinya terkumpul dalam antologi ini percaya mereka memiliki  kemerdekaan dari satu masa lain yang sedang berkembang menuju sebuah pengesahan baru, yaitu perubahan ? Penyair Chairil Anwar berkata pada zamannya : “ Pengetahuan dan teknik zaman ini tinggi sudah.Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah”. Adalah  sebuah penjelajahan imajinasi dengan puiisi membuat orang merdeka,lalu masuk ke mana saja. Ke tempat kesucian paling abadi sekalipun,sebagai postur orang muda modern.
Sekarang zaman Chairil sudah menjadi lampau. Tidak seorang dapat memastikan perjalanan kehidupan. Sesuatu yang dapat kita pastikan adalah ketidakpastian itu sendiri. Pada satu ketika karya-karya pada antologi ini akan jadi saksi satu peristiwa bathin pada zamannya. Layaknya karya-karya sastra yang lain, menjadi sebuah kesaksian kehidupan. Jadi tidaklah sampai berdosa jika kerja kreatif anak-anak muda yang sedang menekuni dunianya ini mendapat tempat yang pantas, sebagai sebuah dokumentasi dalam kehidupan yang sedang berjalan. Karena  masa depan bagaimanapun juga adalah tetap misteri,seperti puisi-puisi yang memiliki nilai misteri.
“ A POEM SHOULD NOT MEAN,BUT BE “ , kata Archibal Mack Leish. Puisi harus menjadi wujudnya tersendiri. Arif Budiman mengatakan : “ Seniman menurut fungsinya selalu mencari bentuk-bentuk ekspresi baru dalam menciptakan karya. Bahkan setelah dia berhasil menciptakan sesuatu yang baru,pada suatu saat dia harus mencari kemungkinan lain untuk menciptakan yang lebih baru “.
Dalam demokratisasi jelah yang dituju bukanlah munculnya beberapa jenius,melainkan ramainya orang berbahagia,dengan partisipasinya dalam menciptakan kerja kreatif. Seniman besar selalu tetap diperlukan akan tetapi bila tidak ada kita pun tak perlu merasa kehilangan. Yang penting kita tidak menyimpan rasa tertekan. Puisi adalah jawabannya untuk sebuah perwujudan kemerdekaan sang penyair yang tanpa tekanan.
Akhirnya,selamat buat orang-orang muda Rantauprapat,Sumatera Utara yang sedang melahirkan kerja kreatif buat masyarakatnya melalui antologi puisi ini . Karya sastra lebih baik menjadi satu kesenian,bukan sekedar bisik-bisik antara  kita. Konsensus bukan merupakan sesuatu yang mesti ada*

Medan,20 April 1998
AS.ATMADI                                                                                                                                                                 Sastrawan dan Budayawan Sumut
BAGIAN PERTAMA
Karya : Said Adlin

AYAH – 1
Siapakah
 yang mau bersama aku
memandang pada jeram
di kiri kanan jalan
 sementara
di seberang sana kita berbisik-bisik
dari sini
 tentang khayalan masa tua kita
yang mengkais-kais
tanah yang tak lezat lagi
 karena ayah kita
telah mengumbar nafsunya
 atas kejalangan tanah
 yang menggeliat-geliat
di bawah kakinya *


AYAH – 2
Marilah
kita mengobrol sebentar
tentang
ayah kita yang tak pernah letih
menebas-nebaskan tongkatnya
menggiring sapi-sapi berjalan
dari semak ke belukar
dari belukar ke rimba
yang ia tersesat di dalamnya
tak pernah tau jalan pulang
dan sapi pun
 hingga kini tak ada masuk kandang
mari kita ngobrol tentang jam tangan
yang rusak
yang tak pernah ia ganti
yang sampai kini masih melingkar
di tangan kirinya
betapa
jarum yang menunjuk angka-angka
masih kokoh pada porosnya
walaupun angka telah berjatuhan
dari mana
ia tak tau jalan pulang
padahal sapid an jam tangannya tak mungkin
menunjukkan
jalan para pencari rotan
yang setia pulang
pada anak bininya
mari kita ngobrol sebentar
sekedar
perintang rindu padanya
tak usah juga kita ngobrol
sambil menangis
karena
air mata adalah badai yang menggumpal
maka
jinakkan dan bungkuslah badai
dengan obrolan
tentang ayah kita
yang mungkin pantas
kita jadikan semacam dongeng
tentang
laki-laki penggiring sapi
dalam mimpi para binatang*


AYAH  -3
Di mana
Kita mendirikan rumah
Bila ayah kita
Telah menggali-gali lobang
Di setiap jengkal tanah
Tempat ia mengumbar api
Hingga
Tanah menjadi dingin
Angin menjadi dingin
Singa menjadi dingin
Dan matahari
Pun menjadi gumpalan salju
Yang rontok setiap saat
Membunuh anak-anak
Yang tak bersuara lagi
Ketika ia lahir
Karena rahim isteri-isteri kita
Pun membeku dari melahirkan
Karena
Rumah yang kita janjikan
Tak kunjung bisa kita bangun
Maka
Jadilah kita
Laki-laki tanpa pedang
Yang berdiri
Atas tanah beku
Menyesali ayahnya
Sunyi sendiri dan mati sendiri*


AYAH  -4
Ayah
Jika kau terbentur
Pada rumitnya menepis dosa
Untuk mencari sekedar keju buat makanku
Atau sekedar mobil buat jalanku
Atau sekedar ribuan hektar kebun pusaka
Yang kau cintakan bagiku
Pulanglah ke rumah
Belajarlah dari mataku

Ayah
Andai kau kehabisan kata
Untuk memuji kebesaran Tuhan
Yang tak pernah enggan mempersilahkanmu
Masuk ke dalam pintu-Nya
Kala kau duduk di hadapan-Nya
Memperbincangkan kami anak-anakmu
Belajarlah dari bahasaku

Ayah
Jika pun malam engkau tak bisa tidur
Jangan kau bentur-benturkan keningmu
Ke dinding-dinding gelap
Atau mendatangi perempuan-perempuan
Yang sembunyi di balik tirai biru
Pulanglah ke rumah
Belajarlah dari tidurku
Cuma saja
Jangan lagi kau mainkan permainanku
Karena aku malu pada tetangga
Yang mengatakan :
“ Sudah tua kok seperti anak kecil saja “


AYAH-5
Ayah
Siapakah sebenarnya nabi ikutanmu
Yang mengalir dalam darahmu
Yang mengurung kebebasanmu
Yang menjadi sebutanmu
Yang membijaki ijtihadmu
Agar
Jika kau sempat tafakur sejenak
Ada kekasih yang hadir menabur cinta
Dalam darah dan Tulangmu
Usus dan kulitmu
Bibir dan tanganmu
Telinga dan dadamu
Maafkan aku anakmu
Yang lancing bertanya.

AYAH-6
Ayah
Tak usah kau pedulikan ibu
Karena ia tak pandai lagi
Menterjemahkan bahasa nafsu
Pengail yang dungu
 tak pernah tau bahasa ikan
yang mempermainkan umpan
Tinggalkan saja
Biarkan aku yang menjaga
Dan
Bila malam akan sempurna
Bulan akan mencebur diri di garis laut
Lalu
Kau berhasrat mendatanginya
Berhadapanlah denganku
Kita beri tanda pada sejarah zaman !


AYAH-7
Ayah
Kuberanikan lisanku untuk mengatakan
Akan apa yang selama ini
 kutakutkan padamu :
Bagaimana kau bisa bebas bicara
Pahal kau terbelenggu
Bagaimana bisa kau tafsirkan hakikat
Pahal kau tinggalkan ma’rifat
Bagaimana bisa kau fikirkan hidupku
Padahal kau rencanakan matiku
Bagaimana bisa dua peran kau mainkan
Dalam satu adegan
Di panggung-panggung reality formality
Padahal ku tau bahwa kau
Tak lebih dari seorang barbar
Penganut barbarism sejati
Ayah
Tak usahpun kau maafkan lisanku
Asal kau tegur sopir dan ajudanmu
Yang tak pernah mau menegur kelaki-lakianmu
Tak bagaimana
Karena kau yang ucapkan padaku :
Laki-laki yang hidup dengan pedang
Akan mati karena pedang !


AYAH-8
Ayah
Kusetrika jas dan dasimu
Agar kau bisa tampil
Selalu meyakinkan bahwa
Program dan presentase yang kau susun
Begitu ampuh dan aduhai
Sehingga sejawat yang berderet di depan mejamu
Tak sanggup kedipkan mata
Untuk mleng dari kata ke kata
Yang begitu lancar kau ucapkan
Sementara benak mereka menggelora
Untuk segera turun ke lapangan
Ayah
Mana mungkin pernah kutau
Bahwa jas dan dasimu
Ternyata tak pernah kau kenakan di depan sejawatmu
Karena pada saat bersamaan
Jas dan dasimu telah dibuka
Oleh si Nova
Di sisi kamar sebuah hotel berbintang
Begitulah
Ayah telah membuat aku menjadi ternak asing
Yang selalu curiga pada setiap jas dan dasi
Yang tersangkut rapi
Di tubuh seorang lelaki !


AYAH-9
Kalau
Kau melihat ada lelaki
Yang tertawa-tawa
Di tengah gurun menunggang keledai
Sambil
Menunggingkan gerabah di atas mulutnya
Hingga seperti mandi
Padahal ia sedang minum
Yang kelihatan seperti musyafir
Dari zaman para nabi
Jangan usik dia
Karena ribuan temannya akan melindungi
Dari balik pohon-pohon kurma
Padahal ia seorang saja
Tapi kalau kemudian
Kau melihat dia terkapar menggelepar
Tertikam pedangnya sendiri
Maka sebelum maut menyeretnya
Ajarkan dia kalimah Allah
Karena
Dia adalah ayah kita !


AYAH -10
Lihatlah
Kita tiba-tiba saja menjadi dewasa
Menerima saja ayah kita yang pulang
Dan bercerita
Bagaimana ia merawat kejantanannya
Lalu kita ketawa-ketawa
Lihatlah
Betapa ibu begitu saja membiarkan ayah
Menelantarkannya dengan kemewahan
Dan hidup dari kepura-puraan
Lihatlah
Sebuah orchestra sumbang
Akan terus kita nikmati
Karena nafsu menjadi irama
Sampai ayah kita berbalik pulang
Ke pangkal jalan.


AYAH-11
Ayah
Ad berapa
Ibuku dalam catatanmu

Kuingatkan bawa bukumu setiap keluar rumah
Baik siang maupun malam
Dan catatkan nama-nama ibuku di situ
Jangan seperti si Fulan bin Si Fulan
Yang bertengkar dengan malaikat penjaga kubur
Karena lupa nama isterinya :
Malaikat :
“Berapa jumlah isterimu
Curahan hasratmu
Penghias mimpimu
Selama hidupmu ?”
Fulan bin Fulan :
“Cuma satu “
Malaikat :
“Dusta !”
Fulan bin Fulan :
“Tidak”
Malaikat :
“Dusta !”
Fulan bin Fulan :
“Tidak”
Malaikat :
“Dusta ! Ini catatanku tentang jumlah isterimu !”
Fulan bin Fulan :
“Ada berapa ?”
Malaikat :
“Delapan puluh tiga,Cuma satu yang mendoakanmu,yang lainnya memberatkanmu !”

AYAH-12
Ayah
Kubangun rumahku
 Dari timbunan batu
Lantaiku langitmu atapku bumimu

Ini rumahku sendiri
Tak seorang kuijin masuk ke ruangnya
Istana bertahta dari kerajaanku menjelma
Tangganya pahatan tangan tak bersuara
Biar ku jatuh keberdirikan tegakku

Ini rumahku sendiri
Tempat tidurku nyenyak di sini
Di alam rimbaku yang berpagar dinding batasku sendiri
Di akar-akar sepi
Di semak-semak berduri

Biarkan aku di sini
Jangan jemput aku pulang
Karena dinding batasku adalah goresan Firman !


AYAH-13
Mengapa
Ayah main plesetan kata
Tirukan bunyi ranting yang patah
Masuk ke dalam gua keluar berganti rupa
Hingga aku keliru memanggilmu ayah

Mengapa
Makna bisa pudar
Padahal lidamu tak pernah keseleo
Mengucapkan kata
Dari kamus-kamus dan ensiklopedia
Khotbah para pendeta dan ulama

Mengapa
Sulit bagimu mengaplikasikan bicara
Caramukah ini menenggelamkan aku
Dalam dunia tak berupa ?


AYAH-14
Ayah
Mengapa Lie Chen
Tak mau kawin dengan aku
Lelaki buruk rupa
Yang lahir membawa cinta

Ayah
Tak dapatkah kau paksa ayahnya
Agar Lie Chennya dikawinkan aku saja
Biar kawin paksa
Tapi
Lie Chen pasti bahagia
Karena
Lie Chen belum tau rasa
Bagaimana cinta segenap jiwa

Ayah
Cabut saja ijin usaha ayahnya
Atau persempit ruang geraknya kalau Lie Chennya juga menolak
Ayah
Sekali-sekali berpihaklah padaku anakmu
Remaja yang tumbuh kaku di taman ibu


AYAH-15
Ayah
Aku adalah benag
Yang lepas dari jenteramu
Yang retak
Tak henti menggulung

Ayah
Tak berapa tempo aku menjadi kain
Kutinggalkan engkau
Tak pernah punya benang lagi
Tak berapa tempo aku menjadi sebuah jas para pemegang kuasa
Menjadi jubah para ulama
Menjadi mukenah para muslimah
Dan Perca-ku menambal baju kaum dhu’afa
Kecuali dalam buku harian
Namamu tak pernah kucatat dalam sejarah !


AYAH-16
Ayah
Begitu kau rupanya,ya
Kau bilang Untuk stabilitas ini untuk stabilitas itu
Sebaiknya begini begini
Bukan begitu begitu

Demi tingkatkan itu
Demi tingkatkan ini
Jangan begitu begitu musti begini begini
Padahal
Setelah aku begini
Engkau begitu
Begitu rupanya kau,ya !


AYAH-17
Ayah
Berhentilah memanah
Karena darah telah banyak tertumpah
Cukuplah sudah para pengorban engkau buat susah
Semestinya
Dalam Komunitas ini
Interaksi engkau jaga agar seimbang
Untuk mencapai tujuan bersama pengorbanan pun harus bersama pula
Ayah
Jangan biarkan mereka terus berkorban
Sementara
Engkau memegang busur
Memanah lagi , memanah lagi

Ternayata
Memerdekakan nurani
Lebih dahsyat perjuangannya
Lebih besar pengorbanannya.


AYAH-18
Ayah
Bagaimana bisa aku nanti
Menjadi pembelamu
Di hadapan majelis pengadilan Tuhan
Memohon ampunan hanya karena pertalian darahmu semata denganku
Bagaimana bisa kukatakan kau amat baik di mataku
Sementara pernah kutau sepanjang hidupmu
Penuh maksiat
Baik maksiat ringan
Maupun maksiat berat atau setengah berat
Kepada tetangga kau sombong setengah mati
Kepada para miskin kau tak peduli
Kepada bawahanmu  kau hanya menuntut kewajiban
Sementara haknya tak pernah kau pertimbangkan
Bicaramu penuh dusta
Tidaklah ! Jika tak segera kau ubah jalanmu
Musyafir kelana
Yang miskin di tengah kekayaan
Yang haus di tengah kenikmatan
Yang sepi di tengah keramaian
Yang rendah
 di atas ketinggian.


AYAH-19
Ayah
Mengapa tak kau katakana Ya saja
Lalu
Kau ikut langkah ayah kita
Mengiyakan tidak menidakkan ya
Mengapa tak kau katakana tidak saja
Lalu
Kau ikut cara ayah kita menidakkan ya mengiyakan tidak
Mengapa mata tak bisa kau bohongi
Sedangkan hati biasa diajak kompromi
Mengapa berat melangkahkan kaki
Sedangkan tangan biasa melakoni
Sudahlah
Marilah masuk walau hatimu di luar
Carilah maknamu dalam dua pertentangan
Yang keduanya harus kau menangkan
Karena harapan bukanlah impian
Dan jangan bersimpang tak punya pilihan
Sudahlah !
Katakanlah Ya saja
Dan Kau ikut cara ayah kita !


AYAH-20
Ayah
Kusempurnakan Gugatanku padamu

Jangan kau panggil aku anakmu
Jika masih kau pelihara kejalanganmu
Jika masih kau dustakan bicaramu
Jika masih kau paksakan kehendakmu
Jika masih kau rusak hutanku
Jika masih kau kotori airku
Jika masih kau hancurkan masa depanku

Sekali lagi :
Jangan kau panggil aku anakmu
Jika masih kau lecehkan ibuku
Dan
Kau sepelekan Tuhanmu !

Bersambung ke Bagian ke 2