meta content='100'http-equiv='refresh'/> ZIKIR & FIKIR: 2014-12-21

Kamis, 25 Desember 2014

JANGAN MELUKAI



JANGAN MELUKAI


Senja mulai menggulirkan angin semilir saat aku tiba di rumah sahabatku setelah hampir tiga jam aku dan motorku bergelut dengan jalanan kampung menuju ke sana.

Ada perasaan bahagia memang,setelah aku menikmati rimbun dedaunan di kanan kiri jalan yang sekali-sekali melibas wajahku sementara terkadang wangi bunga-bunga semak menghantarkan imajinasiku ke negeri syurga. Subhanallah…beginikah gambaran harumnya syurga itu ? 

Kini di halaman rumah di tepian sawah ini syurga itu hadir kembali melalui semilir angin , sejuknya udara , dan kombinasi warna hijau daun padi yang menghampar dengan kuning , biru , dan jingganya langit pada bahagian atasnya.
Ada jalan setapak bertangga menurun landai kearah tepi sawah di samping rumah sebelah kanan,sementara sahabatku Ikhwan Assidqi belum membuka pintu rumahnya. Pemandian , pas ! Aku berwudhu’ dulu ! Akupun turun dari motorku berjalan mengikuti hatiku yang gembira akan bertemu dengan sahabatku  ‘alim dan bersahaja di rumah terpencil itu. 

Belum sepuluh langkah aku menuruni jalan bertangga itu aku dikejutkan oleh teriakan keras memanggil namaku dari arah ujung jalan kecil itu. Saat aku menoleh ke arah suara itu aku melihat sahabatku Ikhwan Assidqi  sedang mandi di bawah pancuran air dari bambu di bawah rimbunan pohon bambu persis seperti itik yang mengkibas-kibaskan sayapnya ketika mandi di genangan kecil sehingga percikan air ke mana-mana.
“ Woi ! Orang desa mandi !” , teriakku dari atas , dan dia tertawa sekuat-kuatnya memecahkan kesunyian di tepi sawah itu.Tak sempat berfikir aku berlari sambil membuka kancing bajuku , melepas celana panjangku dan dengan bercelana pendek aku mendorong dan menggantikan Ikwan Assidqi  di bawah pancur bambu di bawah rimbunan pohon bambu itu. Kami mandi berdua tanpa sempat bersalaman atau saling bertanya kabar. Sesekali kami saling mendorong memperebutkan posisi di bawah pancur dan sesekali pula tawa kami berderai-derai sampai jauh.
“Isteri dan anak-anakmu ke mana ?”,tanyaku setelah kami selesai sholat Maghrib berjamaah , dan setelah makan malam di bawah pancaran sinar petromaks, aku maklum dan menikmatinya karena rumah sahabatku ini memang terpisah lebih tiga kilometer dari perumahan penduduk desa itu. 
“ Pulang ke Padang Sidempuan , mertuaku sakit “, jawabnya .
 “ Masya Allah...”, jawabku perlahan.
 “ Tak mengapa , hanya sakit biasa,mungkin rindu sama cucunya, lagi pula Allah sudah mengatur kedatanganmu ini moment-nya tepat , sehingga kau bebas memilih apakah malam ini kita menyuluh ikan di sawah , atau ngobrol saja sambil makan goreng ubi , atau… kau mau mendengarkan kedalaman makna Munajat Sayyidina Ali ?” 

 Wow…! Semua asyik dari tiga opsi yang diajukannya.
 “Bagaimana ?”, katanya mengejutkan aku yang kelamaan menimbang-nimbang.
"Kali ini tak usah yang berat-berat kita bicarakan... santai sajalah kawan... Kita ngobrol !", kataku.
"Kalau mau ngobrol aja, kita menggoreng ubi dulu berarti...?"
"Berarti ! " Jawabku seperti kebiasaan kami menjawab pertanyaan semacam itu ketika muda di kampung,dulu.
Dia terkekeh-kekeh,mungkin kenangan masa muda di kampung dulu itu , ter- up load juga di memorinya.

Singkat cerita , ubi kayu sudah terhidang lengkap dengan teh manis , dan sepiring kecil sambal terasi sisa makan , tadi. Perngobrolan pun sudah dimulai bahkan sejak aku mengupas kulit ubi dan sahabatku ini menjerang minyak goreng di kuali. Di luar rumah , di sela setiap helai daun - daun padi , embun menempelkan butir-butirnya dibantu oleh semilir angin yang lembut , artinya : malam semakin larut.

Dari obrolan dua sahabat tersebut , satu kalimat hikmah yang diucapkan oleh Ikhwan Assidqi sahabatku itu , dan yang ingin ku share melalui tulisanku ini yaitu , kata beliau : Jika kau panjang , jangan membelit . Jika kau berat , jangan menghimpit , Jika kau tajam , jangan melukai.

Rantauprapat , 26 Desember 2014